Hukum merayakan tahun baru dalam Islam, ini penjelasan menurut ulama

Hukum merayakan tahun baru dalam Islam, ini penjelasan menurut ulama
Hukum merayakan tahun baru dalam Islam, ini penjelasan menurut ulama



Hukum Merayakan Tahun Baru dalam Islam, Ini Penjelasannya Menurut Ulama
Urwatul Wutsqaa - detikSulsel
Jumat, 30 Des 2022 04:30 WIB
Foto: Getty Images/Nikada
Makassar - Hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam menjadi hal yang kerap dipertanyakan setiap menjelang pergantian tahun Masehi. Sebagian umat muslim masih bingung apakah hukum merayakan tahun baru dalam Islam ini dibolehkan atau tidak.
Seperti diketahui, tahun baru merupakan salah satu perayaan yang dinanti-nantikan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim, maka timbullah pertanyaan soal hukum merayakan tahun baru dalam Islam.

Dalam hal ini, sejumlah ulama memiliki perbedaan pendapat. Namun terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, perlu dipahami bahwa Islam pada dasarnya tidak mengenal perayaan tahun baru tersebut.



Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Penjelasan dari Ustadz Abdul Somad
Hukum merayakan tahun baru dalam Islam ini dijelaskan oleh Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam sebuah video ceramah yang diunggah dalam kanal YouTube Taman Surga Net. Dalam ceramahnya, UAS mulanya menjelaskan tentang sejarah penanggalan tahun Masehi.

UAS menjelaskan asal muasal kalender Masehi yang saat ini digunakan sebagai penanggalan di sebagian besar penduduk dunia. Mulanya kalender ini berasal dari kalender yang dibuat seorang kaisar dari Negeri Romawi yang bernama Kaisar Julian yang kemudian dinamai Kalender Julian.



Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Selanjutnya, kalender tersebut diambil dan dimodifikasi oleh Paus di Vatikan yang bernama Paus Gregorius. Hasil modifikasi inilah yang kemudian disebut Gregorian Kalender.

Hingga pada suatu ketika dalam suatu pertemuan yang dilakukan Perkumpulan Bangsa-bangsa (PBB), kalender Gregorian ini disepakati sebagai kalender yang akan digunakan secara seragam di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang masuk anggota PBB.

Meskipun berasal dari non muslim, UAS menjelaskan penggunaan kalender ini sebenarnya boleh-boleh saja.

"Apakah boleh kita pakai alat non muslim? Boleh, ini kamera non muslim punya. Alat non muslim dipakai boleh, termasuk kalender boleh," ujar UAS dalam tayangan video tersebut.

Kendati demikian, jika hal tersebut sudah menyentuh persoalan akidah atau kepercayaan, maka hukumnya tidak boleh. UAH lalu mencontohkan hal-hal yang berkaitan dengan perayaan tahun baru Masehi.

"Ketika sudah masuk ritual, ibadah, meniup terompet, itu sudah masuk dalam ritual. Lalu kemudian menyala-nyalakan lilin itu ritual, apalagi membuang waktu percuma, apalagi sampai membawa anak gadis orang yang tidak mahram," jelasnya.

Hukum Merayakan Tahun Baru dalam Islam, Ini Penjelasannya Menurut Ulama
Urwatul Wutsqaa - detikSulsel
Jumat, 30 Des 2022 04:30 WIB
Foto: Getty Images/Nikada
Makassar - Hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam menjadi hal yang kerap dipertanyakan setiap menjelang pergantian tahun Masehi. Sebagian umat muslim masih bingung apakah hukum merayakan tahun baru dalam Islam ini dibolehkan atau tidak.
Seperti diketahui, tahun baru merupakan salah satu perayaan yang dinanti-nantikan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Karena Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya muslim, maka timbullah pertanyaan soal hukum merayakan tahun baru dalam Islam.

Dalam hal ini, sejumlah ulama memiliki perbedaan pendapat. Namun terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, perlu dipahami bahwa Islam pada dasarnya tidak mengenal perayaan tahun baru tersebut.


Penjelasan dari Ustadz Abdul Somad
Hukum merayakan tahun baru dalam Islam ini dijelaskan oleh Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam sebuah video ceramah yang diunggah dalam kanal YouTube Taman Surga Net. Dalam ceramahnya, UAS mulanya menjelaskan tentang sejarah penanggalan tahun Masehi.

UAS menjelaskan asal muasal kalender Masehi yang saat ini digunakan sebagai penanggalan di sebagian besar penduduk dunia. Mulanya kalender ini berasal dari kalender yang dibuat seorang kaisar dari Negeri Romawi yang bernama Kaisar Julian yang kemudian dinamai Kalender Julian.

ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kalender tersebut diambil dan dimodifikasi oleh Paus di Vatikan yang bernama Paus Gregorius. Hasil modifikasi inilah yang kemudian disebut Gregorian Kalender.

Hingga pada suatu ketika dalam suatu pertemuan yang dilakukan Perkumpulan Bangsa-bangsa (PBB), kalender Gregorian ini disepakati sebagai kalender yang akan digunakan secara seragam di seluruh dunia, termasuk Indonesia yang masuk anggota PBB.

Meskipun berasal dari non muslim, UAS menjelaskan penggunaan kalender ini sebenarnya boleh-boleh saja.

"Apakah boleh kita pakai alat non muslim? Boleh, ini kamera non muslim punya. Alat non muslim dipakai boleh, termasuk kalender boleh," ujar UAS dalam tayangan video tersebut.

Kendati demikian, jika hal tersebut sudah menyentuh persoalan akidah atau kepercayaan, maka hukumnya tidak boleh. UAH lalu mencontohkan hal-hal yang berkaitan dengan perayaan tahun baru Masehi.

"Ketika sudah masuk ritual, ibadah, meniup terompet, itu sudah masuk dalam ritual. Lalu kemudian menyala-nyalakan lilin itu ritual, apalagi membuang waktu percuma, apalagi sampai membawa anak gadis orang yang tidak mahram," jelasnya.

Baca juga:
Doa Awal Tahun dalam Islam Lengkap Arab Latin dan Terjemahnya
Oleh karena itu, kata UAS hal ini harus menjadi perhatian bagi umat muslim. Saat malam pergantian tahun baru ini, sebagai umat muslim hendaknya kita melakukan hal-hal yang bermanfaat dan sejalan dengan perintah agama.

"Oleh sebab itu, makta kita jaga, tidak ada cara lain. Kalau kebetulan malam tahun baru itu nanti ada acara dzikir, daang ke masjid, itikaf," ujar UAS memberi contoh.

Namun, apabila seorang muslim di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada kegiatan keagaamaan yang dapat diikuti menjelang tahun baru, maka lebih baik untuk tidur daripada ikut dalam perayaan non muslim.

"(Kalau tidak ada) habis isya tidur," ujar UAS.

Sementara, bagi masyarakat yang biasanya menikmati momen pergantian tahun dengan cara-cara lain yang tidak menyalahi ajaran agama Islam, UAS menilai hal tersebut boleh-boleh saja. Namun, apabila di dalamnya terdapat unsur yang menyalahi akidah, maka hal tersebut tidak dibenarkan.

"Membakar ayam tidak salah, tapi ketika meyakini makin banyak asapnya naik ke atas maka rezeki banyak, sudah merusak akidah kepada Allah," ujarnya.



Penjelasan dari Buya Yahya
Senada dengan UAS, Ustadz Yahya Zainul Ma'arif Jamzuri atau yang dikenal dengan sapaan Buya Yahya dalam sebuah ceramahnya yang dikutip dalam salah satu tayangan video YouTube menyebutkan bahwa perayaan tahun baru Masehi ini hendaknya dihindari karena budayanya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.

"Tahun Baru Masehi, bukan yang dipermasalahkan dzatnya bulan dan hari, akan tetapi kebiasaan dan kebudayaan yang terjadi di tahun baru tersebut," ujarnya.

Lebih lanjut, Buya Yahya menyebutkan umat muslim hendaknya tidak melakukan perayaan tahun baru karena biasanya hal-hal yang dilakukan dalam perayaan tersebut justru dapat menjerumuskan pada maksiat.

"Apa yang dilakukan oleh umat saat itu? Berhura-hura, berfoya-foya, dan yang banyak merayakan ini orang di luar Islam sana karena bangga dengan tahun baru mereka, kemaksiatan di dalamnya," ujarnya.

"Jadi mengikuti budaya-budaya kafir itulah yang tidak diperkenankan. Kalau masalah hari, kita pakai hari, tanggal kita pakai tanggal mereka," imbuhnya.

Selai itu Buya Yahya dalam ceramahnya juga membahas suatu hadis yang menggambarkan kondisi umat muslim yang mengikuti budaya non muslim. Meskipun tampak sepele, namun kita sebagai umat muslim perlu berhati-hati terhadap budaya non muslim yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

"Disebutkan bahwa nanti ada sekelompok dari kalian ini ada yang bakal ngikuti budayanya orang di luar Islam. Budaya, bukan urusan akidah saja, kebiasaan sejengkal demi sejengkal, setengah depa atau sedepa demi sedepa, sampai kalau mereka masuk ke lobang biawak tuh mereka ikut," ujar Buya Yahya menerangkan sebuah hadis.

Buya Yahya juga mengatakan, kebiasaan mengikuti budaya non muslim ini diakibatkan oleh lemahnya pendirian seorang muslim. Beberapa umat muslim tampak bersuka cita merayakan tahun baru Masehi, namun tidak dengan tahun baru Hijriyah yang merupakan tahun Islam.

"Begitulah umat Islam yang lemah pendirian, kerjanya ngikut-ngikut saja. Dan memang umat Islam ini banyak yang lemah pendirian. Kita itu heboh dengan merayakan tahun baru masehi," kata Buya Yahya.

"Giliran tahun baru Hijriyah, tidur. Muncul kemunafikan di sini," sambungnya.