Mengenal Hukum Pelakor Menurut Islam, Wajib Diketahu

Mengenal Hukum Pelakor Menurut Islam, Wajib Diketahu
Mengenal Hukum Pelakor Menurut Islam, Wajib Diketahu

Merdeka.com - Kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga, kerap dikeluhkan pasangan suami-istri. Hingga muncul julukan, perebut laki orang atau pelakor, yang sama halnya dengan perebut bini orang atau penikor. Adanya pihak ketiga disinyalir menjadi biang masalah perselingkuhan.

Sejatinya, baik menurut norma sosial kemasyarakatan hal ini tidak etis. Termasuk bagi pemeluk setiap agama, tentu melarang.

Menurut ajaran Islam pun, Nabi Muhammad SAW melarang keras seseorang untuk mengganggu keharmonisan rumah tanga orang lain. Semua ini hanya tipu daya setan dan nafsu belaka, yang harus dibendung oleh diri sendiri.

Supaya memahami lebih dalam, berikut hukum pelakor menurut Islam yang wajib diketahui

Agama Islam memandang keharmonisan sebagai hal penting bagi pasangan suami istri dalam membangun rumah tangga. Selain menjaga kepercayaan satu sama lain, tanamkan dalam diri bahwa membangun rumah tangga itu bukan permainan belaka. Terdapat kesakralan yang dijalani, termasuk menyatukan dua keluarga

Rasulullah SAW pun melarang keras seseorang untuk mengganggu keharmonisan rumah tanga orang lain. Tertuang dalam sabdanya:

"Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Bukan bagian dari kami, orang yang menipu seorang perempuan atas suaminya atau seorang budak atas tuannya,'" (HR Abu Dawud).

Dalam hadis tersebut, Islam jelas menilai buruk aktivitas tipu daya yang dilakukan seorang lelaki untuk menjauhkan seorang istri dari suaminya. Begitu pun sebaliknya, seorang wanita yang berusaha menjauhkan suami dari istri sahnya.

Agama mengecam keras pelbagai upaya riilnya itu, hanya demi memuaskan keegoisannya. Hingga rela merusak hubungan rumah tangga lain.

Begitu adil Allah SWT meletakkan perjalanan hidup manusia. Sayangnya, terkadang pilihan yang diambil manusia tanpa sadar menjadi nasib buruk. Seperti halnya memilih ke lain hati, karena tergoda. Bukannya memperbaiki dan mempertahan rumah tangga.

Seperti dilansir dari NU online, dalam sebuah hadis disebutkan bahwa:

"(Bukan bagian dari) pengikut (kami, orang yang menipu) melakukan tipu daya dan merusak kepercayaan (seorang perempuan atas suaminya), misalnya menyebut keburukan seseorang lelaki di hadapan istrinya atau menyebut kelebihan lelaki lain di hadapan istri seseorang (atau seorang budak atas tuannya) dengan cara apa saja yang merusak hubungan keduanya.

Semakna dengan ini adalah upaya yang dilakukan untuk merusak hubungan seorang laki-laki terhadap istrinya atau merusak hubungan seorang budak perempuan terhadap tuannya. Al-Mundziri mengatakan, hadits ini juga diriwayatkan An-Nasai," (Lihat Abu Abdirrahman Abadi, Aunul Ma'bud ala Sunan Abi Dawud, [Yordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, tanpa catatan tahun], halaman 967).

Syarah hadis di atas begitu jelas, bahwa pelakor tidak dianggap sebagai pengikut Rasulullah SAW dan umat Islam. Upaya merusak keharmonisan rumah tangga, bukan jalan hidup yang disyariatkan oleh Islam. Karena upaya destruktif yang berlawanan dengan tujuan pernikahan dalam agama itu sendiri

Selain itu, Rasulullah SAW dengan lugas melarang seorang perempuan yang bertindah sebagai pelakor, untuk menuntut laki-laki menceraikan istri sahnya. Apalagi dengan maksud, supaya bisa menguasai apa yang telah menjadi hak istri selama ini. Berikut hadis Nabi Muhammad SAW:

"Dari Abu Hurairah yang sampai kepada Rasulullah SAW, ia bersabda, ‘Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya untuk membalik (agar tumpah isi) nampannya,'" (HR Tirmidzi).

Imam An-Nawawi memahami bahwa perempuan yang dimaksud ialah pihak ketiga yang ingin merebut suami orang lain. Sementara menurut Ibnu Abdil Bar, ulama lain memaknai perempuan dalam hadits ini sebagai salah seorang istri dari pria yang hendak melakukan poligami.

Alangkah baiknya bisa saling menjaga pandangan, hati dan nafsu dari perselingkuhan. Hal ini wajib bagi sang suami dan istri. Penting pula memikirkan perasaan dan perkembangan mental anak-anak mereka.

Berdasarkan hadis yang disampaikan oleh Nabi SAW tadi, perbedaan pandangan para ulama diangkat oleh Al-Mubarakfuri dalam Syarah Jami' At-Tirmidzi berikut ini:

"Imam An-Nawawi berkata bahwa makna hadits ini adalah larangan bagi seorang perempuan pihak ketiga (selaku pelakor) untuk meminta seorang lelaki menceraikan istrinya agar lelaki itu menalak istrinya dan menikahi perempuan pihak ketiga ini.

Ibnu Abdil Bar memaknai kata 'saudaranya' sebagai istri madu suaminya. Menurutnya, ini bagian dari fiqih di mana seorang perempuan tidak boleh meminta suaminya untuk menceraikan istri selain dirinya agar hanya ia seorang diri yang menjadi istri suaminya.

Kata Al-Hafiz, makna ini mungkin lahir dari riwayat dengan redaksi, 'Janganlah seorang perempuan meminta perceraian saudaranya.' Sedangkan riwayat yang memakai redaksi syarat, yaitu dengan ungkapan 'Seorang perempuan tidak sepatutnya mensyaratkan perceraian saudaranya untuk membalik tumpah isi nampannya,' jelas bahwa perempuan di sini adalah perempuan yang menjadi pihak ketiga.

Pengertian ini diperkuat dengan redaksi, 'agar ia (pihak ketiga) dapat menikah', yaitu menikah dengan dengan suami saudaranya itu tanpa mensyaratkan lelaki tersebut menceraikan istri-istri sebelum dirinya," (Lihat M Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami'it Tirmidzi, [Beirut: Darul Fikr, tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 369).


Keterangan tersebut menggambarkan bahwa agama mengharamkan upaya perempuan sebagai pihak ketiga, atau pelakor untuk merebut suami orang lain. Apalagi sampai rela memaksa untuk menceraikan istri sah sebelumnya, dan merebut hak demi menguasai harta.

Batasan terkait perkawinan semacam ini, bertujuan untuk menata kehidupan melalui penataan rumah tangga. Pasangan tak harmonis dengan kehadiran pihak ketiga, biasanya lebih banyak mengandung mudarat dan masalah. Tentu saja larangan ini tetap berlaku bagi perempuan, jangan sampai tergoda oleh pria lain.


Selain faktor dari diri sendiri, unsur rusaknya hubungan juga bisa muncul dari hasutan jin. Bahkan di kalangan mereka, jin yang dianggap sebagai golongan terbaik adalah para jin yang dapat memisahkan seorang suami dari istrinya. Hal ini disampaikan dalam hadis berikut:

"Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian mengirim pasukannya. Dan yang paling dekat kepada iblis dari pasukannya adalah setan yang bisa membuat fitnah yang paling besar. Salah satu dari mereka datang dan berkata, 'Aku telah berbuat ini dan ini.' Iblis berkata, 'Kamu berlum berbuat apa-apa.' Kemudian datang setan lain dan berkata, ' Aku tidak meninggalkannya sampai aku bisa memisahkan antara dirinya dengan istrinya.' Maka iblis mendekatkan setan tersebut kepada dirinya dan berkata, 'Sebaik-baik (pasukanku) adalah kamu'." (HR Muslim No. 7284)

Benteng diri dalam Islam bisa dilakukan dengan mempertebak keimanan. Apalagi bisa beribadah bersama, tentu semakin merekatkan keharmonisan, serta ada sela waktu luang untuk saling berbagi keluh-kesah.